Minggu, 21 Februari 2016

#cerpen "Kemana Ayah?"

Hari ini aku bangun dari tidurku. Kembali yang pertama kali aku lihat saat membuka mata dari tidur malamku adalah Ayah dan Ibuku. Sampai di usiaku yang menginjak 8 tahun, ini sudah menjadi kebiasaanku di setiap pagi. Bagaimana tidak, aku tidur masih dengan Ayah dan Ibu. Entah mengapa ini sudah menjadi kebiasaanku, mungkin karena aku anak bungsu atau ada hal lain selain itu. Aku tidak tahu. Tapi, setidaknya di saat tidur malam aku tidak pernah merasa takut karena ada Ayah dan Ibu yang selalu menemani tidurku.

Walau di usiaku yang seharusnya tidak lagi tidur bersama orang tua, aku tetap menikmatinya, bahkan sangat menikmatinya, sebab orang yang pertama kali dapat aku lihat saat terbangun adalah Ayah dan Ibu. Di saat bangun sebelum sholat subuh, Ayah, Ibu, dan aku tidak langsung beranjak dari tempat tidur, Ayah selalu mengganggu tidurku untuk membuatku terbangun kemudian mengajakku bercanda bersama Ibu. Kami bertiga selalu melepas tawa sebelum beranjak dari tempat tidur untuk sholat subuh. Ini sudah menjadi kebiasaan kami bertiga sebelum beranjak dari tempat tidur. Hal ini yang paling aku senangi, aku terbangun dari tidur nyenyakku dengan tawa.

Di usia yang masih duduk di bangku kelas 3 SD ini, aku sudah bisa merasakan posisi sebagai anak bungsu yang begitu disayangi oleh Ayah dan Ibu dibanding dengan saudaraku yang lain. Bahkan di antara saudaraku yang lain aku lah yang paling dekat dengan Ayah. Pagiku, lebih banyak dibangunkan oleh Ayah. Tidur siangku, lebih banyak dijaga oleh Ayah. Tidur malamku, lebih banyak diingatkan oleh Ayah. Termasuk untuk makanku, Ayah yang selalu lebih perhatian terhadap keinginan nafsu makanku.

Bahkan jika Ibu keluar rumah tanpa aku tahu, aku akan segera menangis mencari Ibu, dan Ayah lah yang akan menenangkanku. Untungnya, Ayah bekerja di rumah. Rumah adalah tempat Ayah beristirahat dan juga membanting tulangnya untuk menghidupi keluarganya. Sebab itulah aku punya banyak waktu untuk melihat Ayah walau ia sedang bekerja. Aku beruntung untuk satu hal ini. Sebab aku tidak harus menantikan matahari terbit untuk membiarkan Ayah pergi ke tempat lain untuk bekerja dan tidak harus menunggu matahari terbenam untuk melihat Ayah pulang dari tempat kerjanya.

Di sisi lain dari beruntung, terkadang aku tidak tega melihat langsung Ayah menjatuhkan tak terhingga keringatnya demi mencari nafkah untuk keluarganya. Sungguh, Ayah adalah lelaki hebat.

Sampai suatu malam, mataku terbangun dari tidur malamku di tengah larutnya malam, aku tidak melihat Ayah ada di sampingku, dan aku melihat Ibu belum memejamkan matanya di malam yang sudah begitu larut. Aku melihat Ibu tidak biasanya seperti ini. Wajah yang memancarkan rasa khawatir dan cemas. Bahkan lebih memancarkan ketakutan. Perasaanku aneh. Mataku tidak lagi bisa menikmati nyenyaknya tidur. Mataku hanya bisa menatap wajah Ibu yang sedang memikirikan sesuatu, memendam sesuatu yg tidak aku tahu itu apa.
...
Sampai suatu malam, tidur malamku tidak lagi pernah nyenyak, entah mengapa aku selalu terbangun dengan sendirinya di tengah larutnya malam. Di saat itu pula aku sering mendapati Ibu belum tidur. Di saat itulah, aku selalu mendapat wajah Ibu dari malam ke malam hampir saja sama dengan malam pertama kali aku mendapati Ibu belum tidur di malam yang larut.
Sampai suatu malam, aku tidak lagi pernah mendapati Ayah tidur di sampingku. Di atas kasur yang selalu kami nikmati bertiga. Kini tinggal Ibu dan aku yang menikmatinya.
Sampai suatu malam, Ibu dan Aku telah terbiasa tidur tanpa bersama Ayah.
...
Sampai suatu malam, aku tidak pernah lagi melihat Ayah. Bukan hanya di atas kasur, di rumah pun, pagi siang sore aku tidak lagi pernah melihat Ayah datang. Kecuali, saat di hari-hari tertentu saja, seperti hari lebaran, Ia akan datang kembali ke rumah.
Sampai suatu malam, aku bartanya-tanya, kemana Ayah? Kenapa dia tidak lagi tidur di sampingku? Apakah karena aku sering mengganggu tidurnya? Apakah kasur ini tidak lagi empuk? Apakah kasur ini sudah tidak nyaman lagi buatnya?
...
Sampai suatu malam, aku mendapatkan jawabannya, Ayah telah berpindah ke kasur yang lain, kasur yang lebih empuk, kasur yang lebih nyaman baginya, kasur yang selalu memberinya kehangatan, kasur yang bisa lebih membuatnya nyaman tertidur bersama orang pengganti Ibu dan aku.
...
Sampai suatu malam, aku selalu berdoa bahwa setiap hari dapat berganti menjadi hari lebaran.


161216

Di penghujung 161216