Senin, 02 Mei 2016

Namanya Dia

Dia yang selalu moody
Dia yang selalu minder dengan penampilannya
Dia yang kadang tidak tentu jalan fikirannya
Dia yang kadang tidak jelas tindakannya
Dia yang selalu ingin dekat dengan semua teman-temannya
Dia yang selalu ingin bahagia bersama teman-temannya
Dia yang selalu ingin meluangkan waktunya bersama teman dekatnya
Dia yang selalu cemburu ketika sahabatnya dekat dengan orang lain
Dia yang selalu berusaha berbuat baik untuk orang-orang terdekatnya. Kenyataannya, Dia hanya selalu menyusahkan
Dia yang selalu berusaha membuat orang-orang terdekatnya senang. Kenyataannya, Dia hanya bisa membuat kesal
Dia yang selalu ingin disayangi oleh orang-orang terdekatnya. Kenyataannya, Dia tidak pantas untuk disayangi
Dia yang selalu ingin berharga untuk orang-orang terdekatnya. Kenyataannya, Dia tidak pantas untuk itu

Anggap saja Dia itu aku.

Minggu, 21 Februari 2016

#cerpen "Kemana Ayah?"

Hari ini aku bangun dari tidurku. Kembali yang pertama kali aku lihat saat membuka mata dari tidur malamku adalah Ayah dan Ibuku. Sampai di usiaku yang menginjak 8 tahun, ini sudah menjadi kebiasaanku di setiap pagi. Bagaimana tidak, aku tidur masih dengan Ayah dan Ibu. Entah mengapa ini sudah menjadi kebiasaanku, mungkin karena aku anak bungsu atau ada hal lain selain itu. Aku tidak tahu. Tapi, setidaknya di saat tidur malam aku tidak pernah merasa takut karena ada Ayah dan Ibu yang selalu menemani tidurku.

Walau di usiaku yang seharusnya tidak lagi tidur bersama orang tua, aku tetap menikmatinya, bahkan sangat menikmatinya, sebab orang yang pertama kali dapat aku lihat saat terbangun adalah Ayah dan Ibu. Di saat bangun sebelum sholat subuh, Ayah, Ibu, dan aku tidak langsung beranjak dari tempat tidur, Ayah selalu mengganggu tidurku untuk membuatku terbangun kemudian mengajakku bercanda bersama Ibu. Kami bertiga selalu melepas tawa sebelum beranjak dari tempat tidur untuk sholat subuh. Ini sudah menjadi kebiasaan kami bertiga sebelum beranjak dari tempat tidur. Hal ini yang paling aku senangi, aku terbangun dari tidur nyenyakku dengan tawa.

Di usia yang masih duduk di bangku kelas 3 SD ini, aku sudah bisa merasakan posisi sebagai anak bungsu yang begitu disayangi oleh Ayah dan Ibu dibanding dengan saudaraku yang lain. Bahkan di antara saudaraku yang lain aku lah yang paling dekat dengan Ayah. Pagiku, lebih banyak dibangunkan oleh Ayah. Tidur siangku, lebih banyak dijaga oleh Ayah. Tidur malamku, lebih banyak diingatkan oleh Ayah. Termasuk untuk makanku, Ayah yang selalu lebih perhatian terhadap keinginan nafsu makanku.

Bahkan jika Ibu keluar rumah tanpa aku tahu, aku akan segera menangis mencari Ibu, dan Ayah lah yang akan menenangkanku. Untungnya, Ayah bekerja di rumah. Rumah adalah tempat Ayah beristirahat dan juga membanting tulangnya untuk menghidupi keluarganya. Sebab itulah aku punya banyak waktu untuk melihat Ayah walau ia sedang bekerja. Aku beruntung untuk satu hal ini. Sebab aku tidak harus menantikan matahari terbit untuk membiarkan Ayah pergi ke tempat lain untuk bekerja dan tidak harus menunggu matahari terbenam untuk melihat Ayah pulang dari tempat kerjanya.

Di sisi lain dari beruntung, terkadang aku tidak tega melihat langsung Ayah menjatuhkan tak terhingga keringatnya demi mencari nafkah untuk keluarganya. Sungguh, Ayah adalah lelaki hebat.

Sampai suatu malam, mataku terbangun dari tidur malamku di tengah larutnya malam, aku tidak melihat Ayah ada di sampingku, dan aku melihat Ibu belum memejamkan matanya di malam yang sudah begitu larut. Aku melihat Ibu tidak biasanya seperti ini. Wajah yang memancarkan rasa khawatir dan cemas. Bahkan lebih memancarkan ketakutan. Perasaanku aneh. Mataku tidak lagi bisa menikmati nyenyaknya tidur. Mataku hanya bisa menatap wajah Ibu yang sedang memikirikan sesuatu, memendam sesuatu yg tidak aku tahu itu apa.
...
Sampai suatu malam, tidur malamku tidak lagi pernah nyenyak, entah mengapa aku selalu terbangun dengan sendirinya di tengah larutnya malam. Di saat itu pula aku sering mendapati Ibu belum tidur. Di saat itulah, aku selalu mendapat wajah Ibu dari malam ke malam hampir saja sama dengan malam pertama kali aku mendapati Ibu belum tidur di malam yang larut.
Sampai suatu malam, aku tidak lagi pernah mendapati Ayah tidur di sampingku. Di atas kasur yang selalu kami nikmati bertiga. Kini tinggal Ibu dan aku yang menikmatinya.
Sampai suatu malam, Ibu dan Aku telah terbiasa tidur tanpa bersama Ayah.
...
Sampai suatu malam, aku tidak pernah lagi melihat Ayah. Bukan hanya di atas kasur, di rumah pun, pagi siang sore aku tidak lagi pernah melihat Ayah datang. Kecuali, saat di hari-hari tertentu saja, seperti hari lebaran, Ia akan datang kembali ke rumah.
Sampai suatu malam, aku bartanya-tanya, kemana Ayah? Kenapa dia tidak lagi tidur di sampingku? Apakah karena aku sering mengganggu tidurnya? Apakah kasur ini tidak lagi empuk? Apakah kasur ini sudah tidak nyaman lagi buatnya?
...
Sampai suatu malam, aku mendapatkan jawabannya, Ayah telah berpindah ke kasur yang lain, kasur yang lebih empuk, kasur yang lebih nyaman baginya, kasur yang selalu memberinya kehangatan, kasur yang bisa lebih membuatnya nyaman tertidur bersama orang pengganti Ibu dan aku.
...
Sampai suatu malam, aku selalu berdoa bahwa setiap hari dapat berganti menjadi hari lebaran.


Sabtu, 09 Agustus 2014

"Hiasan Dinding Sederhana tapi Mewah"


Hari ini, Ibu menyuruhku dan kakak ke tempat kerja Ayah. Aku disuruh Ibu ke tempat Ayah untuk mengambil uang, uang kebutuhan belanja, juga kebutuhan kuliahku. Lokasinya dari rumah tidak begitu jauh, butuh waktu 20-30 menit untuk bisa tiba di sana. Ayah lebih banyak menghabiskan waktu di tempatnya itu, bahkan sampai lupa pulang. Atau mungkin saja memang Ia tidak mau pulang ke rumah. 

Aku dan Kakak ke sana pukul 7 malam. Kakakku sudah sering ke tempat Ayah, kalau buat Aku ini pertama kalinya. Ternyata tempat Ayah ini tidak asing bagiku, Aku sering melewatinya. Tempat Ayah ini sebagai tempat Ia menjalankan usahanya, juga sekaligus dijadikan tempat tinggalnya yang hanya dibatasi oleh dinding tripleks dan diperkokoh dengan kayu, lantainya pun hanya semen biasa, bahkan ada lantai yang hanya dilapisi kayu juga. Dikategorikan rumah sederhana saja, mungkin belum bisa.

Saat Aku tiba, Aku disuruh masuk oleh Ayah dan disuruh duduk di sebuah sofa yang lumayan lusuh. Rumah Ayah itu punya ruang tamu kecil juga yang tidak begitu luas, sekitaran 1 kali 3 meter persegi saja. Hanya ada satu dinding berbahan tripleks yang membatasi antara ruang tamu dan juga tempat tidur Ayah, yang juga berdekatan dengan dapur. Entah apa yang membuat Ayah betah tinggal di tempat seperti ini. Dibanding di rumah bersama Ibu, tempat ini sangatlah jauh berbeda. Jika Aku disuruh membandingkan lebih rinci, di rumah lebih nyaman, lebih bagus, lebih adem dibanding tempat ini. Tapi, mungkin saja Ayah sendiri sudah merasa nyaman tinggal di sini, sebab ini tempat Ia membuang-buang keringatnya, membanting tulangnya untuk mencari uang sehari semalaman. Baginya mungkin ini tempat yang nyaman.

Aku duduk di sofa ruang tamu, setelah disuguhi es buah oleh Ayah. Saat Aku duduk, Aku melihat sebuah foto berukuran 10 R yang dibingkai dengan sederhana. Foto keluarga ini terlihat begitu bahagia, terlukis senyum lebar di bibir mereka masing-masing. Di ruang tamu sekecil ini, dan rumah yang tidaklah mewah terdapat foto keluarga yang satu-satunya menjadi hiasan dinding. Bagi orang lain ini hiasan dinding sederhana yang biasa saja, tp bagi mereka mungkin inilah hiasan dinding paling mewah. Mereka hanya ingin memperlihatkan kepada siapa pun yang datang dan duduk di ruang tamu mereka kalau mereka adalah keluarga kecil bahagia yang terpancar dari hiasan dinding tersebut. Mereka bangga memasang foto keluarga di sebuah dinding tripleks di ruang tamu yang sangat kecil. Berbeda dengan di rumah, rumah yang berdinding tembok, tak pernah sekalipun dihiasi oleh foto-foto keluarga. Padahal Aku masih ingat, Aku, Ayah, Ibu dan Kakak pernah berfoto keluarga sewaktu Aku masih kelas 5 SD. Itu foto keluarga pertama dan mungkin terakhir kalinya yang tidak pernah bangga dipajang di dinding rumah. Hanya disimpan rapih di album foto. Mengingat hal itu, dengan sendirinya air mataku menetes. Aku cepat-cepat menghapusnya sebelum Ayah dan Kakak melihatku. 

Setelah Ayah  memberi uang dan memberiku nasehat "kuliah yang benar, jangan banyak main", Aku dan Kakak pulang ke rumah. Di atas motor, air mataku kembali menetes. Kali ini aku tidak bisa cepat mengehentikan air mataku. Gelapnya malam dan kaca helm yang kupakai, membantuku untuk menutupi air mataku yang jatuh dari orang yang mungkin saja melihatku. Air mataku ini jatuh setelah melihat dan mengingat foto keluarga tadi. Mungkin Aku iri dengan mereka yang ada di dalam foto tersebut. Itu foto Ayah bersama istrinya dan kedua anaknya yang masih kecil.

Kamis, 31 Juli 2014

Terasa Ada yang Kurang


Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, lebaran tahun ini aku dan keluarga tidak mudik. Budaya mudik di keluargaku berhenti sejak orang tua Ayah dan Ibuku sudah meninggal. Jadi, tidak ada lagi alasan utama untuk mudik di setiap lebaran. Sibuk-sibuk mudikpun tidak pernah aku rasakan. Tapi, ini bukan masalah yang menjadi penghambat lebaran kami. 

Di malam lebaran ini, Ayah baru saja pulang. Setelah lebih setahun Ia tidak pulang ke rumah. Mungkin Ia sibuk bekerja. Mungkin. Ia membawa sekantong besar ayam yang sebelumnya sudah dipotong. Di dapur, Ibuku bukannya senang, Ia malah marah-marah: "bukannya tanya-tanya dulu kalau sudah beli ayam atau belum, sayakan sudah beli satu. Kalo ayam sebanyak ini mau diapakan, padahal kita hanya bertiga di rumah (sebab semua kakakku berlebaran di kampung orang)". Tapi, Ibu tidak berani marah seperti itu di hadapan Ayah. Ia menggerutu seperti itu saat aku datang untuk membantunya. Ayah memang kebiasaan membeli barang-barang dalam jumlah banyak, sedang menurut Ibu itu hal yang membuang-buang uang saja.

Seperti lebaran tahun-tahun kemarin banyak yang kurang, tahun inipun begitu. Apa yg kurang? Opor ayam beserta ketupatnya dan kue khas lebaran ada di atas meja. Lalu apa? Baju lebaran? Iya sih tahun ini aku tidak punya baju lebaran. Sebab, aku bukan lagi anak TK yang merengek dibelikan baju lebaran, bukan lagi anak SD yang menangis jika tidak punya baju lebaran. Bukan lagi anak SMP yang suka memamerkan baju lebarannya. Tidak ada baju lebaran di tahun ini, bukan hal yg membuat lebaranku terasa kurang. Terus apa? Meminta maaf ke kedua orang tua? Aku masih punya orang tua yang lengkap, jadi aku masih selalu punya kesempatan untuk memohon maaf ke mereka. Aku harus bersyukur untuk ini.

Aku kemudian tahu yang membuat lebaranku selalu terasa kurang setelah melihat akun-akun media sosialku, teman-temanku kompak meng-upload foto mereka yang tersenyum lebar mengenakan baju lebaran mereka bersama keluarganya, bahkan mereka ada yg berbaju seragam lebaran bersama keluarganya. Lebaran mereka terasa lengkap. Juga terasa bahagia.

Iya, sama seperti tahun-tahun kemarin, tahun inipun kami tidak pernah menyempatkan waktu semenitpun berpose untuk foto keluarga saat lebaran. Pun setelah Ayah, Ibu dan Aku bersilaturahmi ke satu keluarga dan bersiarah ke makam almarhum kakakku, Ayah lalu segera mengantar Ibu dan aku kembali ke rumah. Setelah itu, Ayah pergi. Kemudian, mungkin ia hanya akan datang lagi kembali ke rumah di saat lebaran berikutnya.

Selasa, 22 Juli 2014

F-Y-A


A: "Aku orangnya cepat bosan loh"

D: "kalau sekarang bagaimana? kamu sudah bosan?"

A: "Iya. Aku bosan sekali. Tapi, tidak mau ambil pusing. Rasa bosanku anggap angin lalu saja"

D: "Maaf, ini mungkin karena Aku yang membuat bosan. Aku tidak tahu caranya bagaimana biar membuatmu tidak bosan"

A: "ah, tidak tidak. Aku yang memang orangnya gampang bosan. Kamu bagaimana, sudah bosan juga?"

D: "tidak. aku tidak pernah merasa bosan. Aku malah selalu merasa beruntung bisa jadi kekasih-mu"


-a Few Years Ago-

Jumat, 11 Juli 2014

(1 − ¾) Semangat



Dengan seperempat semangat menulis yang saya punya, saya menggerakkan jari-jari tangan saya untuk mengetikkan dan meninggalkan tulisan yang tidak penting ini di sini. Di sini: blog yang lama tak saya jumpai, bahkan untuk menyapanya saja saya sudah tidak punya semangat.

Hai, blog!
Saya kembali. Saya kembali meninggalkan tulisan yang tak penting di bagian post mu. Saya kembali untuk kembali berbagi cerita yang tidak seru. Sejujurnya dan awalnya, saya sudah malas menuliskan apapun di sini. Bahkan hanya menuliskan “aku rindu kamu”-pun saya sudah tidak punya semangat. Dulu, saya sangat antusias menuliskan cerita fiktif bahkan sampai cerita fakta yang saya alami. Tapi, setelah negara api menyerang *ah, ini sudah kuno. Ganti: semenjak ada kabar gembira untuk kita semua, kulit manggis sekarang ada ekstraknya *sambil nyanyi* (segembira itukah kabar manggis sekarang ada ekstraknya?  Lebih gembira mana kabar manggis ber-ekstrak itu dibanding datangnya kabar yang lama kau nanti-nantikan, kemudian datang dalam bentuk surat di pagi hari? –surat kabar maksudnya) saya tidak lagi punya semangat menulis di sini. Sedikit-pun. Setitik-pun.
Seperempat semangat menulis yang sekarang ini saya miliki tidak lain, bukan atas dasar keinginan saya sendiri. Sejujurnya lagi, ini karena saya dipaksa, saya diintimidasi, saya dibully, dan saya diancam oleh salah seorang blogger yang juga senior saya di SMA, yang katanya kita punya banyak kesamaan: sama-sama tinggal di kompleks yang sama (dulu, sekarang dia sudah pindah, sedang saya masih), sama-sama melankolik, sama-sama penyuka warna merah. Untungnya kita tidak sama-sama menyukai orang yang sama. Untungnya.
Dia alien yang tidak tahu darimana asal planetnya dan sekarang menyamar jadi manusia, mengaku-ngaku punya keluarga manusia dan akrab serta hidup dengan manusia. Harap  waspada saat bertemu dengan alien ini, kalau sedang lapar, segala apapun dilahapnya, termasuk kamu yang ada dihadapannya. Waspada!
Alien yang MENGAKU tampan ini namanya: @planetyar
Katanya, alasan saya disuruh kembali nge-blogging karena blog sekarang tidak seramai yang dulu,sebab jaman sekarang lebih banyak memilih facebook, twitter, instagram, path dan lain-lain sebagai media mencurahkan kata-kata yang ingin disalurkan. Misalnya: “akoeh cayang kamoe” atau “aqu rindu kamu nich”. Ini misalnya yaaa...
Itu tadi alasan dari mulutnya, tapi alasan dalam hatinya kenapa dia menyuruh saya kembali ngeblog: “sekarang blog sudah sepi semenjak mutiaraazela.blogspot.com tidak perrnah lagi nge-post, tidak ada lagi postingannya yang bisa dicalla-cala. Huahaha” *ala-ala isi hati sinetron*
Oke, saya kembali di sini! Dan selamat kembali memulai celaan, @planetyar!

161216

Di penghujung 161216